Jumat, 05 Agustus 2016

BERAPA HARGA KEBAHAGIAAN???

Markesot Bertutur _EAN_


BERAPA HARGA KEBAHAGIAAN ???

Mungkin karena orang modern makin tidak bahagia hidupnya, ada sebuah lembaga yang menyebarkan angket pertanyaan tentang kebahagiaan.

Memang orang modern ini aneh-aneh. Sudah hidup dengan segala macam, kok malah punya penyakit stres. Padahal, orang desa atau kuli dan tukang becak kan ngga ada yang kena stres. Orang-orang kecil ini lebih ringan beban mentalnya, juga mungkin lebih pandai menguasai dunia batinnya. Lha, orang modern yang pintar-pintar kok malah jantungan, ginjal campur lever, harmoni perkawinan terancam, atau macam-macam penyakit tubuh maupun penyakit kemanusiaan dan penyakit sosial lainnya.

Memang tidak jelas, mana batasan modern dan mana tradisional. Tapi, pokoknya makin modern kehidupan ini, anehnya makin banyak jenis penyakit, makin banyak kekacauan mental dan sosial, makin banyak kecemasan dan kebingungan.

Markesot sendiri tidak biosa menyimpulkan dirinya sendiri, apakah dia orang modern atau orang tradisional. Apakah dia orang kota atau orang desa. Apakah dia orang pintar atau orang bodoh.

Soal ukuran “modern”, “kota”, dan “pintar” juga kabur. Kita disebut modern kalau sudah pakai baju modis, minimal pakai jeans beggy dan kaus yang ada tulisannya bahasa Inggris. Kita disebut orang kota kalau sudah kenal musik rock dan mengerti jenis-jenis mobil. Kita disebut pintar kalau sudah makan sekolahan.

Tapi Markesot tak peduli. Dia polos saja. Ada angket, dia diminta mengisi, ya dia isi.

Ada pertanyaan dalam angket: “Apakah Anda merasa hidup anda bahagia?” Markesot menjawab tegas: “Ya!”

“Apakah bahagia sama dengan senang, nikmat, nyaman, enak, tenteram, gembira, dan seterusnya?”

“Tidak. Tidak sama. Enak, sedap, nyaman termasuk rendah tingkatnya. Kita nyuluh kodok atau ngopor kedelai itu nyaman, tak bisa kita sebut bahagia. Ngintip wanita mandi itu sedap, tapi bukan bahagia. Minum kopi ginastel sambil ngemut rokok itu nikmat, tapi kan bukan bahagia. Bahagia lebih tinggi tarafnya. Kalau senang atau sedap ada lawan katanya, tapi bahagia tidak. Senang itu lemah, karena bisa diubah menjadi kecut. Sebab apa? Sebab, senang atau sedap bergantung pada kondisi objektif. Ia bersifat temporal, situasional. Sedangkan bahagia ini abadi, kuat perkasa, dan tidak bisa diubah. Sebab, bahagia bergantung pada sikap batin, bergantung pada cara seseorang mengolah mentalnya dalam menghadapi kehidupan.”

“Apakah ada alat untuk mencapai kebahagiaan?”
Jawab Markesot, “Cinta.”

“Bisa Anda menjelaskan?”
“Begini,” Markesot berceramah seperti profesor, “cinta kualitasnyasejajar dengan bahagia, ruh, dan diri. Ruh itu inti kemakhlukan manusia. Ruh tidak lelaki, tidak wanita. Ia utuh. Bahagia hanya bisa dicapai oleh pengolahan ruh. Karena ruh juga tidak lelaki tidak wanita, bahagia pun tidak antagonistik: tidak ada lawan katanya. Ia utuh.”

Markesot meneruskan, di kertas tersendiri yang dilampirkan di balik kertas angket, “Dimensi yang lebih luar dari ruh adalah jiwa. Pada dimensi jiwa, baru ada potensi kelelakian dan potensi kewanitaan. Kemudian, dimensi yang paling luar dari manusia adalah badan. Pada badan terjelaskan lembaga lelaki dan wanita. Tetapi sebenarnya setiap lelaki punya unsur kewanitaan, dan setiap wanita punya unsur kelelakian. Makanya, anak baik-baik bisa jadi wadam; itu karena unsur kelelakian atau kewanitaannya diseburkan secara tidak setia pada kodrat badaniahnya. Nah, sekarang kita hubungkan soal bahagia, senang, dna seterusnya itu.

“Seperti ada friksi antara lelaki dan wanita, maka ada juga konflik antara senang dan benci, antara sedap dan kecut, antara nyaman dan sumpeg, dan seterusnya. Tapi, dalam kebahagiaan, tak ada konflik. Seperti juga dalam cinta, tak ada konflik. Misalnya, Anda tidak senang pada kelakuan tertentu dari suami atau instri Anda, tapi sementara itu Anda tetap mencintainya. Jadi, senang itu bergantung pada keadaan. Kalau istri setia,ya Anda senang. Kalau tidak, ya tidak senang. Tapi kalau cinta, ia tidak bisa digugurkan oleh keadaan apapun. Biar kekasih Anda menyakiti Anda, Anda tetap mencintainya. Karena tingkat mutu cinta lebih tinggi daripada jiwa, di mana ada lelaki dan ada wanita, ada senang dan ada benci.”

Mungkin Anda bertanya, “Apakah benci bukan lawan kata dari cinta?”
Markesot menjawab, “Bukan. Bacalah Kahlil Gibran. Benci adalah cinta yang disakiti. Benci adalah cinta yang merasakan sakit, tapi yang merasakan sakit itu ya tetap cinta namanya. Jadi, sekali lagi, cinta itu utuh, kental, abadi. Seperti ruh, seperti rasa bahagia itu sendiri. Itu makhluk batiniah yang amat dekat letaknya di sisi Allah. Bukankah Allah juga tidak lelaki tidak wanita?” Maka ketika dalam angket ada juga pertanyaan: “Apakah kebahagiaan ada hubungannya dengan kekayaan, kemiskinan, status sosial, pangkat, dan lain-lain?” Markesot menjawab, “Tidaktentu, sebab yang menentukan kebahagiaan bukan kekayaan atau kemiskinan, melainkan bagaimana sikap mental dan sikap batin manusia terhadap kekayaan dan kemiskinan. Silahkan beli mobil sebanyak-banyaknya, asal Anda tidak menjadi bergantung, diperbudak, dan diatur hidup Anda oleh mobil itu. Kalau anda diperbudak, pasti Anda jauh dari kans kebahagiaan. Kalau Anda mandiri, Anda merdeka dan sanggup mengatasi milik anda, maka Anda lebih mungkin untuk bahagia.

“Kata ketua suku Ammatoa di Kajang, Sulawesi Selatan, orang menjadi bahagia kalau sudah tidak punya apa-apa lagi. Artinya, ia tidak dibebani oleh berbagai macam kebergantungan. Semua miliknya sudah ia pasrahkan kembali kepada Allah lewat fungsi-fungsi sosial. Maka berbahagialah Imam Khomeini yang tidak punya apa-apa. Meniru Nabi Muhammad dan empat sahabat beliau yang sesudah meninggal, juga tak mewariskan apa-apa. Kita ini jauh lebih kaya materi dibandingkan Muhammad. Tapi, atau justru karena itu, kita kalah bahagia.”

“Tapi, Nabi Sulaiman kan kaya raya?”
“Ya! Marilah kita tiru Sulaiman. Mencari nafkah sebanyak-banyaknya. Sulaiman adalah orang yang kaya raya. Kaya materi, kaya batinnya. Kan, kebahagiaan tidak bergantung pada kaya atau miskin, tapi bergantung pada sikap batin. Jadi, boleh kaya boleh miskin, asal sikap batinnya berorientasi ke Cinta dan Ruh.”      


EMHA AINUN NADJIB
MARKESOT BERTUTUR (360-363)


*Jadi, sudahkah merasakan kebahagiaan?
*Atau sudah tau berapa harga dari kebahagiaan itu?
*Mau membeli kebahagiaan?

#BAHAGIALAH...heuheu...