Markesot
Bertutur _EAN_
BERAPA
HARGA KEBAHAGIAAN ???
Mungkin
karena orang modern makin tidak bahagia hidupnya, ada sebuah lembaga yang
menyebarkan angket pertanyaan tentang kebahagiaan.
Memang
orang modern ini aneh-aneh. Sudah hidup dengan segala macam, kok malah punya
penyakit stres. Padahal, orang desa atau kuli dan tukang becak kan ngga ada
yang kena stres. Orang-orang kecil ini lebih ringan beban mentalnya, juga
mungkin lebih pandai menguasai dunia batinnya. Lha, orang modern yang
pintar-pintar kok malah jantungan, ginjal campur lever, harmoni perkawinan
terancam, atau macam-macam penyakit tubuh maupun penyakit kemanusiaan dan
penyakit sosial lainnya.
Memang
tidak jelas, mana batasan modern dan mana tradisional. Tapi, pokoknya makin
modern kehidupan ini, anehnya makin banyak jenis penyakit, makin banyak
kekacauan mental dan sosial, makin banyak kecemasan dan kebingungan.
Markesot
sendiri tidak biosa menyimpulkan dirinya sendiri, apakah dia orang modern atau
orang tradisional. Apakah dia orang kota atau orang desa. Apakah dia orang
pintar atau orang bodoh.
Soal
ukuran “modern”, “kota”, dan “pintar” juga kabur. Kita disebut modern kalau
sudah pakai baju modis, minimal pakai jeans
beggy dan kaus yang ada tulisannya bahasa Inggris. Kita disebut orang kota
kalau sudah kenal musik rock dan mengerti jenis-jenis mobil. Kita disebut
pintar kalau sudah makan sekolahan.
Tapi
Markesot tak peduli. Dia polos saja. Ada angket, dia diminta mengisi, ya dia isi.
Ada
pertanyaan dalam angket: “Apakah Anda merasa hidup anda bahagia?” Markesot
menjawab tegas: “Ya!”
“Apakah
bahagia sama dengan senang, nikmat, nyaman, enak, tenteram, gembira,
dan seterusnya?”
“Tidak.
Tidak sama. Enak, sedap, nyaman termasuk rendah tingkatnya. Kita nyuluh kodok atau ngopor kedelai itu nyaman, tak bisa kita sebut bahagia. Ngintip wanita mandi itu sedap, tapi
bukan bahagia. Minum kopi ginastel
sambil ngemut rokok itu nikmat, tapi
kan bukan bahagia. Bahagia lebih tinggi tarafnya. Kalau senang atau sedap ada
lawan katanya, tapi bahagia tidak. Senang itu lemah, karena bisa diubah menjadi
kecut. Sebab apa? Sebab, senang atau
sedap bergantung pada kondisi objektif. Ia bersifat temporal, situasional. Sedangkan
bahagia ini abadi, kuat perkasa, dan tidak bisa diubah. Sebab, bahagia
bergantung pada sikap batin, bergantung pada cara seseorang mengolah mentalnya
dalam menghadapi kehidupan.”
“Apakah
ada alat untuk mencapai kebahagiaan?”
Jawab
Markesot, “Cinta.”
“Bisa
Anda menjelaskan?”
“Begini,”
Markesot berceramah seperti profesor, “cinta kualitasnyasejajar dengan bahagia, ruh, dan diri. Ruh itu inti kemakhlukan manusia. Ruh tidak lelaki, tidak
wanita. Ia utuh. Bahagia hanya bisa dicapai oleh pengolahan ruh. Karena ruh
juga tidak lelaki tidak wanita, bahagia pun tidak antagonistik: tidak ada lawan
katanya. Ia utuh.”
Markesot
meneruskan, di kertas tersendiri yang dilampirkan di balik kertas angket, “Dimensi
yang lebih luar dari ruh adalah jiwa. Pada dimensi jiwa, baru ada potensi
kelelakian dan potensi kewanitaan. Kemudian, dimensi yang paling luar dari
manusia adalah badan. Pada badan terjelaskan lembaga lelaki dan wanita. Tetapi sebenarnya
setiap lelaki punya unsur kewanitaan, dan setiap wanita punya unsur kelelakian.
Makanya, anak baik-baik bisa jadi wadam; itu karena unsur kelelakian atau
kewanitaannya diseburkan secara tidak setia pada kodrat badaniahnya. Nah,
sekarang kita hubungkan soal bahagia, senang, dna seterusnya itu.
“Seperti
ada friksi antara lelaki dan wanita, maka ada juga konflik antara senang dan
benci, antara sedap dan kecut, antara nyaman dan sumpeg, dan seterusnya. Tapi,
dalam kebahagiaan, tak ada konflik. Seperti juga dalam cinta, tak ada konflik. Misalnya,
Anda tidak senang pada kelakuan tertentu dari suami atau instri Anda, tapi
sementara itu Anda tetap mencintainya. Jadi, senang itu bergantung pada
keadaan. Kalau istri setia,ya Anda senang. Kalau tidak, ya tidak senang. Tapi kalau
cinta, ia tidak bisa digugurkan oleh keadaan apapun. Biar kekasih Anda
menyakiti Anda, Anda tetap mencintainya. Karena tingkat mutu cinta lebih tinggi
daripada jiwa, di mana ada lelaki dan ada wanita, ada senang dan ada benci.”
Mungkin
Anda bertanya, “Apakah benci bukan lawan kata dari cinta?”
Markesot
menjawab, “Bukan. Bacalah Kahlil Gibran. Benci adalah cinta yang disakiti. Benci adalah cinta yang merasakan sakit, tapi
yang merasakan sakit itu ya tetap cinta namanya. Jadi, sekali lagi, cinta itu
utuh, kental, abadi. Seperti ruh, seperti rasa bahagia itu sendiri. Itu makhluk
batiniah yang amat dekat letaknya di sisi Allah. Bukankah Allah juga tidak
lelaki tidak wanita?” Maka ketika dalam angket ada juga pertanyaan: “Apakah
kebahagiaan ada hubungannya dengan kekayaan, kemiskinan, status sosial,
pangkat, dan lain-lain?” Markesot menjawab, “Tidaktentu, sebab yang menentukan
kebahagiaan bukan kekayaan atau kemiskinan, melainkan bagaimana sikap mental
dan sikap batin manusia terhadap kekayaan dan kemiskinan. Silahkan beli mobil
sebanyak-banyaknya, asal Anda tidak menjadi bergantung, diperbudak, dan diatur
hidup Anda oleh mobil itu. Kalau anda diperbudak, pasti Anda jauh dari kans
kebahagiaan. Kalau Anda mandiri, Anda merdeka dan sanggup mengatasi milik anda,
maka Anda lebih mungkin untuk bahagia.
“Kata
ketua suku Ammatoa di Kajang, Sulawesi Selatan, orang menjadi bahagia kalau
sudah tidak punya apa-apa lagi. Artinya, ia tidak dibebani oleh berbagai macam
kebergantungan. Semua miliknya sudah ia pasrahkan kembali kepada Allah lewat
fungsi-fungsi sosial. Maka berbahagialah Imam Khomeini yang tidak punya
apa-apa. Meniru Nabi Muhammad dan empat sahabat beliau yang sesudah meninggal,
juga tak mewariskan apa-apa. Kita ini jauh lebih kaya materi dibandingkan
Muhammad. Tapi, atau justru karena itu, kita kalah bahagia.”
“Tapi,
Nabi Sulaiman kan kaya raya?”
“Ya!
Marilah kita tiru Sulaiman. Mencari nafkah sebanyak-banyaknya. Sulaiman adalah
orang yang kaya raya. Kaya materi, kaya batinnya. Kan, kebahagiaan tidak
bergantung pada kaya atau miskin, tapi bergantung pada sikap batin. Jadi, boleh
kaya boleh miskin, asal sikap batinnya berorientasi ke Cinta dan Ruh.”
EMHA AINUN NADJIB
MARKESOT BERTUTUR (360-363)
*Jadi, sudahkah merasakan kebahagiaan?
*Atau sudah tau berapa harga dari kebahagiaan itu?
*Mau membeli kebahagiaan?
#BAHAGIALAH...heuheu...